Kamis, 10 Desember 2009

“PEMIMPIN WAJIB BERAGAMA ISLAM”

sebagai mana firman Allah yang berbunyi”
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin”. [TQS An Nisaa’ (4):141]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan wali (pemimpin)-mu, orang-orang yang menjadikan agamamu sebagai bahan ejekan dan permainan, (yaitu) dari orang-orang yang diberi kitab sebelummu dan orang-orang kafir…” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 57).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi walimu (pemimpinmu); sesungguhnya sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi wali (pemimpin), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 51); dan lain sebagainya.
Ayat-ayat di atas merupakan larangan sharih bagi kaum Muslim menjadikan orang-orang kafir sebagai kepala negara (pemimpin). Ayat di atas qath’iy al-dilaalah, sehingga tidak membuka ruang adanya perbedaan pendapat mengenai larangan menjadikan musuh-musuh Allah sebagai pemimpin (waliy).
Ketiga, Allah swt mewajibkan taat kepada ulil amriy yang Muslim. Allah swt berfirman;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[TQS An Nisaa’ (4):59]

Ayat ini kaum Mukmin wajib mentaati ulil amriy (kepala negara) yang berasal dari kalangan orang-orang beriman; dan tidak ada ketaatan kepada pemimpin-pemimpin kafir. Frase ”minkum” menunjukkan bahwa ulil amriy yang harus ditaati oleh kaum Muslim adalah ulil amriy yang beragama Islam, alias Mukmin. Lalu, bagaimana kita diperkenankan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin negara, sementara itu, kepala negara itu harus ditaati oleh orang-orang Mukmin, sedangkan mereka (orang kafir) tidak boleh ditaati oleh orang-orang beriman?
Keempat, hadits-hadits shahih menggariskan kewajiban memisahkan diri dan memerangi pemimpin-pemimpin yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata. Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untu selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Bukhari]
Hadits di atas menjelaskan bahwa jika seorang penguasa telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata, maka kaum Mukmin diperbolehkan melepaskan ketaatan dari mereka dan wajib memerangi mereka dengan pedang jika mampu.
Al-Hafidz Ibnu Hajar, tatkala mengomentari hadits-hadits di atas menyatakan, bahwa jika kekufuran penguasa bisa dibuktikan dengan ayat-ayat, nash-nash, atau berita shahih yang tidak memerlukan takwil lagi, maka seorang wajib memisahkan diri darinya. Akan tetapi, jika bukti-bukti kekufurannya masih samar dan masih memerlukan takwil, seseorang tetap tidak boleh memisahkan diri dari penguasa.
Imam al-Khathabiy menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “kufran bawahan“ (kekufuran yang nyata) adalah “kufran dzaahiran baadiyan” (kekufuran yang nyata dan terang benderang)
Menurut ‘Abdul Qadim Zallum; larangan memisahkan diri dari penguasa telah dikecualikan oleh pecahan kalimat berikutnya, yakni,” kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Bukhari]. Ini menunjukkan, bahwa seorang muslim wajib memisahkan diri dari penguasa, bahkan boleh memerangi mereka dengan pedang, jika telah terbukti dengan nyata dan pasti, bahwa penguasa tersebut telah terjatuh ke dalam “kekufuran yang nyata.”
Bukti-bukti yang membolehkan kaum muslim memerangi khalifah haruslah bukti yang menyakinkan (qath’iy). Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa kekufuran adalah lawan keimanan. Jika keimanan harus didasarkan pada bukti-bukti yang menyakinkan (qath’iy), demikian juga mengenai kekufuran. Kekufuran harus bisa dibuktikan berdasarkan bukti maupun fakta yang pasti, tidak samar, dan tidak memerlukan takwil lagi. Misalnya, jika seorang penguasa telah murtad dari Islam, atau mengubah sendi-sendi ‘aqidah dan syariat Islam berdasarkan bukti yang menyakinkan, maka ia tidak boleh ditaati, dan wajib diperangi. Sebaliknya, jika bukti-bukti kekufurannya tidak pasti, samar , dan masih mengandung takwil, seorang muslim tidak diperkenankan mengangkat pedang di hadapannya.
Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa orang-orang kafir diperbolehkan menjadi kepala negara (pemimpin bagi kaum Muslim), sementara itu, Nabi saw memerintahkan kaum Muslim memisahkan diri dan memerangi para penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata?
NEGARA ISLAM INDONESIA ATAU NEGARA KAFIR INDONESIA?
Dalam kenyataannya, indonesia merupakan negara yang berlandaskan asas kaum kafir. Bukti yang menunjukkan hal ini sangatlah banyak, diantaranya adalah firman Allah swt berikut ini;
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” ]TQS Al Maidah (5): 44].
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” [TQS Al Maidah (5):47].
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” [TQS Al Maidah (5): 45]
Ayat-ayat ini telah memberikan batasan yang sangat jelas kepada kepala negara agar ia mengatur urusan-urusan rakyatnya hanya berdasarkan hukum-hukum Allah swt. Dengan demikian, seorang penguasa dalam menjalankan urusan pemerintahannya harus terikat dengan syariat Islam. Seorang kepala negara dilarang memecahkan suatu masalah berdasarkan hukum kufur atau berusaha mengkompromikan Islam dengan sesuatu yang bukan berasal dari Islam. Allah SWT berfirman dalam khithab-Nya kepada Rasul;
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati- hatilah kamu kepada mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” (TQS. Al Maidah [5]: 49).
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (TQS. Al Maidah [5]: 48).
Jadi hukum yang tertinggi adalah Al-qur'an dan Assunah. jika umat Islam tidak mau menggunankan hukum islam, maka apa bedanya mereka dengan kaum kafirrr...?